Awalnya adalah proposal kerja praktek mahasiswa UMM yang ditolak oleh perusahaan cat. Tapi walau ditolak mereka malah ditantang oleh perusahaan untuk membuat program CSR.
Inilah cerita menariknya. Bagaimana perjuangan mereka mengubah bad habbit menjadi good habbit. Awalnya membuang sampah sembarangan menjadi lingkungan yang tertata.
Kampung yang semula kumuh di pinggir sungai disulap menjadi kampung yang tertata dan menarik. Warna cat rumah yang eye catching adalah awalnya dan diikuti dg penataan lingkungan yang memperhatikan kebersihan.
Tidak hanya menarik turis lokal namun juga turis manca negara berkunjung ke sini. Menyusuri gang demi gang tentu menjadi pengalaman yang excited bagi mereka. Mungkin sama excitednya dengan saya saat menyusuri gang demi gang perumahan di Yuyake Dandan Stairs di Nippori, Tokyo. Saya sangat excited karena seakan-akan berjalan di komplek perumahan Nobita di film Doraemon.
Bagi saya sendiri menyusuri gang demi gang di sini bukanlah pengalaman yang istimewa sekali. Saya sudah kenyang keluar masuk gang saat tinggal di Bandung tahun 80an lalu. Saat itu saya hapal sekali gang demi gang di Sekeloa, Haur Mekar, Cisitu Lama, Taman Hewan. Juga gang demi gang di antara Jl. Teuku Umar dan Jl. Dipati Ukur yang nyaris saya lewati setiap hari.
Tidak hanya pembangunan fisik namun kelihatannya masyarakat di sini juga diedukasi untuk sadar wisata. Tidak ada gangguan preman ataupun yang minta-minta uang. Pengunjung hanya dikenai retribusi yang sangat murah hanya 5.000 saja dan setelah itu bebas ke mana saja tanpa ada rongrongan lagi.
Pengunjung merasa nyaman tanpa merasa diganggu. Jika pengunjung sudah merasa nyaman maka tentu saja mereka akan nyaman saat keluar uang saat mampir di warung kampung tersebut. Pengeluaran pengunjung ini akan memutar roda perekonomian di kampung tersebut.
Sebenarnya ini adalah bukti bahwa membuat spot destinasi yang menarik itu tidak sulit. Yang sulit adalah mengedukasi agar masyarakat sadar wisata. Agar mereka tidak berpikir aji mumpung dan jangka pendek seperti banyak yang terjadi di tempat wisata lain. Ada premanisme, ada pungutan liar, ada peminta-minta dan rongrongan lain. Akibatnya pengunjung tidak nyaman dan kapok untuk datang lagi. Yang lebih buruk lagi adalah getok tular cerita-cerita ketidaknyamanan yang mereka alami.
Sumber: Eri Sadikin